PERMINTAAN Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) kepada Kementerian Kominfo agar menutup
dan memblokir via DNS sejumlah website media Islam Online memgejutkan
dan semakin menunjukkan abuse of power pemerintah.
Suatu yang patut dipertanyakan, mengapa
sedemikian tanggapnya BNPT terhadap perkembangan lingkungan strategis
yang terjadi di Timur Tengah dengan gerakan ISIS kemudian membelenggu
kebebasan informasi masyarakat luas.
Terlebih lagi yang menjadi sasaran adalah
sejumlah Media Islam online. Kondisi yang demikian semakin membuka tabir
gerakan perongrong Islam dalam lingkup kekuasaan pemerintahan saat ini.
Kesembilan belas Media Islam Online yang menjadi sasaran dikenal sangat concern
terhadap pembelaan pada Islam. Salah satunya yang paling pokok adalah
menjaga kemurnian ajaran pokok Islam dari pengaruh aliran-aliran sesat
dan yang paling berbahaya adalah Syiah Iran, “The New Rafidah”.
Dengan demikian, menjadi jelas kebijakan
yang diambil oleh BNPT – yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh
Kementerian Kominfo – sangat merugikan Islam. Seharusnya pemerintah –
dalam hal ini BNPT – tercerahkan dengan informasi yang disampaikan
oleh media Islam, kemudian melakukan penelitian lanjutan tentang adanya
ancaman terhadap keutuhan dan kedaulatan NKRI, seperti ekspansi
ideologi Syiah Iran yang semakin massif san ofensif merasuk ke semua
sektor fungsi-fungsi pemerintahan.
Tindakan abuse of power atas nama
menghentikan paham radikalisme termasuk simpatisannnya – sebagaimana
disebutkan oleh Kementerian Kominfo – merupakan tindakan yang ceroboh
dan sekaligus menunjukkan tidak berpihaknya BNPT atas “Demokratisasi dan
Kebebasan Pers. Suatu yang antagonistik, politik polarisasi dalam
bentuk melemahkan perjuangan Islam di satu sisi, di sisi lain memberikan
keluasan bagi gerakan aliran sesat yang bukan hanya membahayakan bagi
Islam namun juga NKRI.
Efek yang ditimbulkan dari kebijakan BNPT
yang ceroboh ini akan memberikan pengaruh bagi penguatan kaum Sekularis,
Pluralis dan Liberalis (SePILIS), aliran sesat dan komunis
yang memang menginginkan Indonesia sebagai Negara yang memisahkan Negara
dengan agama secara permanen (sekularistik). Ciri utama dari Negara
sekularsitik adalah hukumnya positivistik / legalistik, sebagaimana
dipraktekkan oleh Hitler, begitupun Republik Rakyat Cina (RRC),
Negara-negara Blok Amerika dan Republik Iran saat ini.
Negara tersebut memang sangat anti
terhadap peran agama Islam dalam politik pemerintahan. Adapun Republik
Iran bukanlah representasi model pemerintahan Islam, melainkan
pemerintahan Syiah.
Kekuasaan (politik) dan hukum berada pada satu tangan yakni Rahbar, semua keputusan berada dan diputuskan melalui Rahbar, bukan presiden maupun parlemen.
Dalam pemikiran positivistik tidak
terdapat pengakuan nilai-nilai agama yang ada adalah kemauan penguasa
yang bersifat temporer dan untuk kepentingan kekuasaan belaka.
Untuk itu, kepastian hukum menjadi utama,
bukan keadilan yang mengandung kemaslahatan. Kepastian selalu dikejar
atas nama stabilitas Keamaan Nasional, namun di balik itu mendiskritkan
perjuangan penegakan syariah Islam. Pada tataran yang lebih luas,
dikhawatirkan semangat umat akan mengalami penurunan signifikan,
cendekiawan Islam akan dikalahkan dengan kaum sekular yang menghendaki
minimalisasi peran Islam dalam Negara.
Saya mensinyalir kebijakan BNPT tersebut
akan mengarah kepada pengkerdilan Ormas-ormas Islam melalui produk
peraturan perundang-undangan yang membatasi ruang hidup dalam politik.
Revisi RUU Ormas akan digalakkan,
termasuk rencana UU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang
kontroversial, dikhawatirkan memberikan tempat kaum SePILIS, aliran sesat dan berkembangnya paham komunis.
Tentu ini akan sejalan dengan skenario besar kaum SePILIS,
Komunis Gaya Baru (KGB) dan aliran-aliran sesat untuk lebih leluasa
dalam menjangkau pusat-pusat kekuasaan. Mereka akan bersatu-padu dan
bahu-membahu, karena kepentingan dan tujuannya adalah sama, yakni
memperoleh jaminan dan pengaruh.
Contoh nyata adalah Syiahisasi yang tengah
diperjuangkan oleh elite-elite Syiah di Indonesia dalam rangka
membangun rasa, paham dan semangat Iran (Iranisasi). Syiah Iran akan
mengeksodus umat Islam menjadi Syiah, menggantikan nasionalisme
Indonesia menjadi nasionalisme Persia. Sama dengan Syiah dan Komunis
akan berupaya menggantikan ideologi Pancasila.
Di pihak lain kaum SePILIS akan diuntungkan dengan melemahnya peran Ormas Islam, meniadakan saingan dan pengaruh dalam rangka mengembangkan pemikirannya.
Harapan mereka, pada saat umat Islam
lengah dan melemah, mereka akan mendapat pengaruh dan kuasa. Inilah
saat-saat yang dinantikan Syiah Iran, dalam suatu kondisi melemahnya
umat Islam, Syiah Iran hanya memiliki dua saingan yakni kaum SePILIS dan Komunis.
Akan tercipta hubungan “Klientelistik”,
tentunya dengan Syiah sebagai pemegang kendali, pada fase ini ideologi
Pancasila tidak lagi “sakti”, telah tergantikan dengan ideologi Imamah
Syiah Iran.
Kesimpulan yang dapat kita petik adalah,
ketika ruang hidup Ormas-ormas Islam semakin minimalis, mereka justru
berkembang secara maksimalis. Kesemuanya itu, dimulai dari pengkerdilan
arus informasi dan interaksi umat dalam kancah perpolitikan.
Tantangan umat Islam memang semakin besar,
namun pertolongan Allah Subhanahu Wata’aka akan membesarkan perjuangan
umat Islam dan akan menghancurkan musuh-musuh Islam kelak pada akhirnya.
Hidayatullah.com