Pada tahun 1955 ditahbiskan di Djakarta “Timur Agung Indonesia” jang kemudian dinamai “Loge Agung Indonesia” dan Shd. : Soemitro ditahbiskan sebagai Guru Agung Pertama.
“Sejarah Indonesia selama ini
ditutup-tutupi”. Begitulah kira-kira kalimat kegemaran para pendukung
teori konspirasi dan pendukung atlantis. Aku kagum sekali mendengar
kalangan yang jarang sekali membaca buku sejarah, menyatakan dengan
mudahnya bahwa sejarah bangsa ini ditutupi oleh Belanda dan Kalangan
“Freemason”. Benarkah anggapan tersebut ?
Mereka pikir ketiadaan informasi mengenai
kehebatan sejarah Indonesia di masa lalu merupakan bentuk manipulasi
sejarah. Mungkin mereka lupa bahwa orang-orang Belanda lah yang
mengungkap banyak hal mengenai kehebatan kerajaan-kerajaan Nusantara di
masa lalu. Adalah Belanda yang pertama kali melakukan penelitian serius
untuk mengungkap kehebatan bangsa ini. Mengapa mereka melakukan itu ?
Mereka ingin menunjukan bahwa bangsa kecil seperti mereka bisa
menaklukan kerajaan-kerajaan hebat yang pernah menghuni nusantara.
Itulah mengapa sebabnya Belanda bersemangat sekali untuk mengungkap
peninggalan-peninggalan sejarah Nusantara. Peninggalan kejayaan
Nusantara tersebut dikumpulkan oleh organisasi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
yang nantinya berkembang menjadi Museum Gajah. Adalah suatu kenyataan
sejarah bahwa organisasi tersebut didirikan pada tahun 1778 oleh J.C.M.
Radermacher, Suhu Agung Freemasonry Hindia Belanda. Ia menyumbang sebuah
gedung yang bertempat di Jalan Kalibesar beserta dengan koleksi buku
dan benda-benda budaya yang nanti menjadi dasar untuk pendirian museum.
Seorang anggota Freemason lainnya, Dirk van Hogendorp (1736-1784) turut
menjadi tokoh penting dalam perkembangan Museum Gajah dan sejarah
nusantara umumnya.
Melihat kenyataan tersebut kita patut
menanyakan kembali apakah benar kalangan Belanda dan Freemason berusaha
menutupi sejarah bangsa ini dan bukan sebaliknya ? Justru sejarah
Freemason di Nusantara itulah yang selama ini ditutupi dan dianggap
tidak ada. Dibutuhkan kejujuran untuk mengakui bahwa misalnya Pelukis
Raden Saleh adalah seorang anggota mason dan kenyataan sejarah bahwa
Kongres Pemuda Pertama tahun 1926 diadakan di Loji Freemason Batavia.
Memang bukanlah hal yang terlalu krusial untuk dimuat di buku-buku
sejarah, namun ini setidaknya bisa menggambarkan bahwa desas-desus
mengenai Freemasonry di negara ini lebih banyak didasarkan oleh
imajinasi para fundamentalis.
Kini usahakanlah untuk menghilangkan
terlebih dahulu segala stigma negatif terhadap Freemasonry karena aku
akan mengisahkan biografi singkat Soemitro Kolopaking, Guru Agung
Pertama Freemasonry Indonesia. Biografi ini kusarikan dari buku
otobiografi Soemitro Kolopaking “Tjorat-tjoretan Pengalaman Sepandjang Masa” yang diterbitkan Balai Pembinaan Administrasi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta – 1969.
Dalam buku ini Soemitro tidak mengisahkan
masa kecil maupun latar belakang keluarganya. Kisah demi kisah
diceritakan loncat meloncat sehingga akan susah untuk menelusurinya.
Untunglah ada uraian singkat dari Dwidjo Hardjosoebroto di akhir buku
ini yang berusaha merunut kisah hidup Soemitro.
Menurut Dwidjo, Soemitro lahir di
Papringan, Banyumas pada tanggal 14 Juni 1887. Ia mengenyam Sekolah Jawa
(1893-1896), ELS (1896-1901_, Gymnasium Willem III (1901-1907) dan
dilanjut sebagai Mahasiswa Indologi di Leiden (1907-1914). Selama
menjadi mahasiswa itu Soemitro melanglang buana ke berbagai negara untuk
mencari tambahan dana kuliah.
Dalam buku ini, Soemitro langsung memulai
kisahnya ketika ia bekerja di Tambang Batubara “Gewerkschaft Deutscher
Kaiser’ – Jerman. Entah bagaimana selama tahun 1908 – 1909 itu beliau
bisa “terdampar” di sana, bersama dengan ribuan pekerja lainnya yang
berasal dari Rusia, Polandia, Australia, Belanda, Italia, Denmark dll.
Pengalaman langka itupun tidak banyak diceritakannya padahal kisah
seorang Indonesia bekerja di tambang batubara Jerman saat itu tidak
banyak yang mengetahui.
Pada tahun 1911 Soemitro bekerja di
perusahaan penggergajian kayu di Riga, Latvia. Ia menggambarkan bahwa
kondisi Latvia yang saat itu masih menjadi negara satelit Rusia sangat
kental dengan nuansa Feodal. Suatu saat pernah terjadi pemogokan di
tempat Soemitro bekerja. Pemogokan itu segera ditanggapi dengan
pengerahan pasukan Kozak yang tak ragu menggunakan kekerasan.
Peleton Kozak itu di dalam dan di muka pabrik menghantam-kromo orang2 muyik pria-wanita, yang terang2an atau disangka mogok. Dan yang sangat menyedihkan adalah kejadian bahwa seorang ibu yang menggendong anak perempuannya yang saja berusia tiga tahun. Ibunya luka parah dan anak kecilnya itu pecah kepalanya, kena hantaman peluru baja knoet kozak, meninggal seketika itu juga…
Dari Latvia, Soemitro pindah ke Swedia
untuk bekerja di sana. Pekerjaan tersebut dijalankannya untuk menabung
biaya kuliah di Leiden. Beliau pun diterima kursus liburan yang diikuti
ribuan mahasiswa dari berbagai negara.
Saat itu menurutnya di Eropa masih
berlaku semboyan “Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan Ilmu Pengetahuan”
yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap spiritualitas. Soemitro
juga membeberkan banyak fakta menarik mengenai sistem pendidikan di
Eropa saat itu, di antaranya adalah kemungkinan seorang mahasiswa untuk
mengikuti kuliah sebagai mahasiswa tamu di berbagai universitas di
Eropa. Ujian pun tidak diadakan serentak melainkan menyesuaikan kesiapan
sang mahasiswa. Tanpa banyak penjelasan, pengalaman berkuliah di
Belanda itu dilanjut dengan pengalamannya bekerja di Albania dan Mesir.
Dwidjo menambahkan bahwa setelah 8 tahun
di Eropa, Soemitro pulang ke Hindia Belanda untuk bekerja di sebuah
rumah gadai. Ia pun sempat menjadi pekerja pabrik Teh dan Kina “Pandjang
Estate” di lereng gunung Pangrango. Dari sana pada tahun 1917 ia
mengikuti pendidikan komisaris polisi di Jakarta.
Setelah lulus dari Sekolah Polisi di
Jakarta, beliau ditunjuk sebagai komisaris polisi di kota Bandung. Di
kota inilah perkenalan Soemitro dengan Freemasonry dimulai. Pada tahun
1922 Soemitro secara resmi memasuki Loge Sint Jan di Bandung. Beberapa
waktu kemudian beliau ikut mendirikan dan memimpin Loge “Serajudal” di
Purwokerto. Setelah kemerdekaan, Soemitro aktif mendirikan Loge “Purwa
Daksina di Jakarta (1952), Loge “Pamitraan” di Surabaya, Loge “Bhakti”
di Semarang, dan Loge “Dharma” di Bandung
Dalam pemerintahan Soemitro pernah
menjabat sebagai wedana Sumpiuh dan Bupati Banjarnegara tahun 1926.
Kesuksesan Soemitro dalam menjalankan tugasnya sebagai Bupati diakui
oleh Van Goudoever dalam harian di Semarang De Locomotief, Februari
1926.
…Sungguh suatu pengalaman yang istimewa ketika menemuinya di rumah Bupati yang tua di kota kecil Banjarnegara pula. Barangsiapa yang menemuinya di sana akan pulang dalam keadaan yang senantiasa lebih kaya, karena masing-masing akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang orang hanya dapat mendengarnya dari dirinya…
Soemitro tercatat sangat berhasil
mengembangkan pertanian di lahan tandus Banjarnegara. Selain itu ketika
menemukan daerah yang mengandung tanah liat, Soemitro langsung
memeriksakan tanah itu di Bandung dan meminta keterangan selengkapnya
mengenai kemungkinan-kemungkinan penggunaannya. Kemudian ia mendirikan
pabrik kecil yang membuat barang-barang keramik dari tanah liat itu.
Pada suatu hari ia mengeluarkan barang-barang yang lain coraknya, yaitu barang-barang keramik dari tanah liat berwarna coklat tua dengan jalur2 hijau tua dan hitam yang indah pada permukaannya yang mengkilat seperti kaca. “Kamu tentu tidak menyangka bagaimana kami membikinnya,” kata Soemitro. “Akhir-akhir ini terjadi sebuah batu baterai dari lampu senter jatuh ke dalam zat cairan yang akan digunakan untuk membuat permukaan seperi kaca itu. Pekerja2nya datang kepada saya dengan permintaan maaf atas kelalaian itu, tapi kemudian malah saya perintahkan untuk membeli semua batu baterai yang sudah tak terpakai…
Semasa penjajahan Jepang beliau menjadi
anggota PPKI yang bersama dengan anggota Mason lainnya, Radjiman
Wediodiningrat, ikut menyusun undang-undang dasar Indonesia. Dalam
berbagai kesempatan rapat PPKI, Soemitro kerap mendesak panitia untuk
tidak panjang lebar berdiskusi dan secepat mungkin mengesahkan
undang-undang dasar negara serta menyempurnakannya di kemudian hari.
Setelah pecah revolusi pada tahun 1945,
di samping Soemitro menjabat Residen Pekalongan, ia merangkap jabatan
Gubernur yang diperbantukan apda Kementrian Dalam Negeri. Sesudah clash I
ia terjun dalam perang gerilnya di Jawa Tengah.
Pada tahun 1955 Soemitro terpilih sebagai
anggota DPR dan dinonaktifkan sebagai pegawai Kementrian Dalam Negeri.
Di tahun yang sama, Soemitro Kolopaking ditahbiskan oleh “Loge Agung
Indonesia” untuk menjadi Guru Agung Pertama Indonesia. Dengan demikian
Soemitro bisa dibilang sebagai Bapak Freemasonry Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar