Sabtu, 05 Juli 2014

Soemitro Kolopaking – Bapak Freemasonry Indonesia


IMG_0012
Pada tahun 1955 ditahbiskan di Djakarta “Timur Agung Indonesia” jang kemudian dinamai “Loge Agung Indonesia” dan Shd. : Soemitro ditahbiskan sebagai Guru Agung Pertama.
“Sejarah Indonesia selama ini ditutup-tutupi”. Begitulah kira-kira kalimat kegemaran para pendukung teori konspirasi dan pendukung atlantis. Aku kagum sekali mendengar kalangan yang jarang sekali membaca buku sejarah, menyatakan dengan mudahnya bahwa sejarah bangsa ini ditutupi oleh Belanda dan Kalangan “Freemason”. Benarkah anggapan tersebut ?
Mereka pikir ketiadaan informasi mengenai kehebatan sejarah Indonesia di masa lalu merupakan bentuk manipulasi sejarah. Mungkin mereka lupa bahwa orang-orang Belanda lah yang mengungkap banyak hal mengenai kehebatan kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Adalah Belanda yang pertama kali melakukan penelitian serius untuk mengungkap kehebatan bangsa ini. Mengapa mereka melakukan itu ? Mereka ingin menunjukan bahwa bangsa kecil seperti mereka bisa menaklukan kerajaan-kerajaan hebat yang pernah menghuni nusantara. Itulah mengapa sebabnya Belanda bersemangat sekali untuk mengungkap peninggalan-peninggalan sejarah Nusantara. Peninggalan kejayaan Nusantara tersebut dikumpulkan oleh organisasi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang nantinya berkembang menjadi Museum Gajah. Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa organisasi tersebut didirikan pada tahun 1778 oleh J.C.M. Radermacher, Suhu Agung Freemasonry Hindia Belanda. Ia menyumbang sebuah gedung yang bertempat di Jalan Kalibesar beserta dengan koleksi buku dan benda-benda budaya yang nanti menjadi dasar untuk pendirian museum. Seorang anggota Freemason lainnya, Dirk van Hogendorp (1736-1784) turut menjadi tokoh penting dalam perkembangan Museum Gajah dan sejarah nusantara umumnya.
Melihat kenyataan tersebut kita patut menanyakan kembali apakah benar kalangan Belanda dan Freemason berusaha menutupi sejarah bangsa ini dan bukan sebaliknya ? Justru sejarah Freemason di Nusantara itulah yang selama ini ditutupi dan dianggap tidak ada. Dibutuhkan kejujuran untuk mengakui bahwa misalnya Pelukis Raden Saleh adalah seorang anggota mason dan kenyataan sejarah bahwa Kongres Pemuda Pertama tahun 1926 diadakan di Loji Freemason Batavia. Memang bukanlah hal yang terlalu krusial untuk dimuat di buku-buku sejarah, namun ini setidaknya bisa menggambarkan bahwa desas-desus mengenai Freemasonry di negara ini lebih banyak didasarkan oleh imajinasi para fundamentalis.
Kini usahakanlah untuk menghilangkan terlebih dahulu segala stigma negatif terhadap Freemasonry karena aku akan mengisahkan biografi singkat Soemitro Kolopaking, Guru Agung Pertama Freemasonry Indonesia. Biografi ini kusarikan dari buku otobiografi Soemitro Kolopaking “Tjorat-tjoretan Pengalaman Sepandjang Masa” yang diterbitkan Balai Pembinaan Administrasi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta – 1969.
Dalam buku ini Soemitro tidak mengisahkan masa kecil maupun latar belakang keluarganya. Kisah demi kisah diceritakan loncat meloncat sehingga akan susah untuk menelusurinya. Untunglah ada uraian singkat dari Dwidjo Hardjosoebroto di akhir buku ini yang berusaha merunut kisah hidup Soemitro.
Menurut Dwidjo, Soemitro lahir di Papringan, Banyumas pada tanggal 14 Juni 1887. Ia mengenyam Sekolah Jawa (1893-1896), ELS (1896-1901_, Gymnasium Willem III (1901-1907) dan dilanjut sebagai Mahasiswa Indologi di Leiden (1907-1914). Selama menjadi mahasiswa itu Soemitro melanglang buana ke berbagai negara untuk mencari tambahan dana kuliah.
Dalam buku ini, Soemitro langsung memulai kisahnya ketika ia bekerja di Tambang Batubara “Gewerkschaft Deutscher Kaiser’ – Jerman. Entah bagaimana selama tahun 1908 – 1909 itu beliau bisa “terdampar” di sana, bersama dengan ribuan pekerja lainnya yang berasal dari Rusia, Polandia, Australia, Belanda, Italia, Denmark dll. Pengalaman langka itupun tidak banyak diceritakannya padahal kisah seorang Indonesia bekerja di tambang batubara Jerman saat itu tidak banyak yang mengetahui.
Pada tahun 1911 Soemitro bekerja di perusahaan penggergajian kayu di Riga, Latvia. Ia menggambarkan bahwa kondisi Latvia yang saat itu masih menjadi negara satelit Rusia sangat kental dengan nuansa Feodal. Suatu saat pernah terjadi pemogokan di tempat Soemitro bekerja. Pemogokan itu segera ditanggapi dengan pengerahan pasukan Kozak yang tak ragu menggunakan kekerasan.
Peleton Kozak itu di dalam dan di muka pabrik menghantam-kromo orang2 muyik pria-wanita, yang terang2an atau disangka mogok. Dan yang sangat menyedihkan adalah kejadian bahwa seorang ibu yang menggendong anak perempuannya yang saja berusia tiga tahun. Ibunya luka parah dan anak kecilnya itu pecah kepalanya, kena hantaman peluru baja knoet kozak, meninggal seketika itu juga…
Dari Latvia, Soemitro pindah ke Swedia untuk bekerja di sana. Pekerjaan tersebut dijalankannya untuk menabung biaya kuliah di Leiden. Beliau pun diterima kursus liburan yang diikuti ribuan mahasiswa dari berbagai negara.
Saat itu menurutnya di Eropa masih berlaku semboyan “Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan Ilmu Pengetahuan” yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap spiritualitas. Soemitro juga membeberkan banyak fakta menarik mengenai sistem pendidikan di Eropa saat itu, di antaranya adalah kemungkinan seorang mahasiswa untuk mengikuti kuliah sebagai mahasiswa tamu di berbagai universitas di Eropa. Ujian pun tidak diadakan serentak melainkan menyesuaikan kesiapan sang mahasiswa. Tanpa banyak penjelasan, pengalaman berkuliah di Belanda itu dilanjut dengan pengalamannya bekerja di Albania dan Mesir.
Dwidjo menambahkan bahwa setelah 8 tahun di Eropa, Soemitro pulang ke Hindia Belanda untuk bekerja di sebuah rumah gadai. Ia pun sempat menjadi pekerja pabrik Teh dan Kina “Pandjang Estate” di lereng gunung Pangrango. Dari sana pada tahun 1917 ia mengikuti pendidikan komisaris polisi di Jakarta.
Setelah lulus dari Sekolah Polisi di Jakarta, beliau ditunjuk sebagai komisaris polisi di kota Bandung. Di kota inilah perkenalan Soemitro dengan Freemasonry dimulai. Pada tahun 1922 Soemitro secara resmi memasuki Loge Sint Jan di Bandung. Beberapa waktu kemudian beliau ikut mendirikan dan memimpin Loge “Serajudal” di Purwokerto. Setelah kemerdekaan, Soemitro aktif mendirikan Loge “Purwa Daksina di Jakarta (1952), Loge “Pamitraan” di Surabaya, Loge “Bhakti” di Semarang, dan Loge “Dharma” di Bandung
IMG_0015
Dalam pemerintahan Soemitro pernah menjabat sebagai wedana Sumpiuh dan Bupati Banjarnegara tahun 1926. Kesuksesan Soemitro dalam menjalankan tugasnya sebagai Bupati diakui oleh Van Goudoever dalam harian di Semarang De Locomotief, Februari 1926.
…Sungguh suatu pengalaman yang istimewa ketika menemuinya di rumah Bupati yang tua di kota kecil Banjarnegara pula. Barangsiapa yang menemuinya di sana akan pulang dalam keadaan yang senantiasa lebih kaya, karena masing-masing akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang orang hanya dapat mendengarnya dari dirinya…
Soemitro tercatat sangat berhasil mengembangkan pertanian di lahan tandus Banjarnegara. Selain itu ketika menemukan daerah yang mengandung tanah liat, Soemitro langsung memeriksakan tanah itu di Bandung dan meminta keterangan selengkapnya mengenai kemungkinan-kemungkinan penggunaannya. Kemudian ia mendirikan pabrik kecil yang membuat barang-barang keramik dari tanah liat itu.
Pada suatu hari ia mengeluarkan barang-barang yang lain coraknya, yaitu barang-barang keramik dari tanah liat berwarna coklat tua dengan jalur2 hijau tua dan hitam yang indah pada permukaannya yang mengkilat seperti kaca. “Kamu tentu tidak menyangka bagaimana kami membikinnya,” kata Soemitro. “Akhir-akhir ini terjadi sebuah batu baterai dari lampu senter jatuh ke dalam zat cairan yang akan digunakan untuk membuat permukaan seperi kaca itu. Pekerja2nya datang kepada saya dengan permintaan maaf atas kelalaian itu, tapi kemudian malah saya perintahkan untuk membeli semua batu baterai yang sudah tak terpakai…
Semasa penjajahan Jepang beliau menjadi anggota PPKI yang bersama dengan anggota Mason lainnya, Radjiman Wediodiningrat, ikut menyusun undang-undang dasar Indonesia. Dalam berbagai kesempatan rapat PPKI, Soemitro kerap mendesak panitia untuk tidak panjang lebar berdiskusi dan secepat mungkin mengesahkan undang-undang dasar negara serta menyempurnakannya di kemudian hari.
Setelah pecah revolusi pada tahun 1945, di samping Soemitro menjabat Residen Pekalongan, ia merangkap jabatan Gubernur yang diperbantukan apda Kementrian Dalam Negeri. Sesudah clash I ia terjun dalam perang gerilnya di Jawa Tengah.
Pada tahun 1955 Soemitro terpilih sebagai anggota DPR dan dinonaktifkan sebagai pegawai Kementrian Dalam Negeri. Di tahun yang sama, Soemitro Kolopaking ditahbiskan oleh “Loge Agung Indonesia” untuk menjadi Guru Agung Pertama Indonesia. Dengan demikian Soemitro bisa dibilang sebagai Bapak Freemasonry Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar