Rabu, 01 April 2015

MUI : Pemblokiran Media Islam Ciptakan Gerakan ISLAMOPHOBIA

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, pemblokiran situs-situs media Islam harus tetap mengacu pada kebebasan berpendapat sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Mengamati perkembangan situasi dan gejolak masyarakat belakangan terkait tindakan pemerintah memblokir sejumlah situs media Islam, MUI menghawatirkan munculnya gerakan phobia pada Islam.
“Pemblokiran situs-situs media Islam ternyata telah menimbulkan reaksi yang begitu masif dan serentak dari umat Islam, sebagaimana kita lihat di media massa. Hal itu dapat kita pahami karena umat Islam sangat mengkhawatirkan akan munculnya kembali gerakan phobia pada Islam,” demikian dikatakan Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi Dr. Sinansari Ecip.
Menurut MUI, di era informasi sekarang, pemerintah harus berhati-hati dalam menyimpulkan dan menetapkan suatu keputusan yang berdampak luas bagi masyarakat, apalagi yang terkait dengan situs-situs keagamaan karena menyangkut kepentingan umat beragama yang luas.
MUI juga menghimbau, jika ternyata pemblokiran terhadap situs-situs media Islam tersebut telah salah dan keliru,  maka pemerintah seharusnya melakukan rehabilitasi nama baik situs-situs media tersebut.
“Nama baik situs-situs media Islam tersebut telah ternodai karena terlanjur dikait-kaitkan dengan gerakan kekerasan, radikalisme, dan terorisme.”
MUI menganjurkan  pemblokiran situs-situs media Islam di masa dating hendaknya dilakukan secara hati-hati dengan melibatkan MUI, Kementerian Agama, dan ormas-ormas Islam, sehingga keputusannya benar-benar kredibel, tidak mendatangkan kerugian bagi media yang bersangkutan, dan tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
MUI mengaku, setelah ini pihaknya akan terus melakukan pendalaman dan pengkajian kembali atas kasus pemblokiran situs-situs media Islam ini dengan mengundang pihak-pihak terkait, mulai dari Kementerian Komunikasi dan Informasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta para pengelola situs-situs media yang diblokir.
MUI juga mengingatkan bahwa tugas pemerintah adalah memberikan bimbingan dan melakukan pembinaan terhadap situs-situs media massa yang mulai tumbuh dan berkembang di Tanah Air, agar mereka dapat turut serta memberikan andil dalam pendidikan yang baik kepada masyarakat.

Pemblokiran Situs Islam menguntungkan Aliran sesat

PERMINTAAN Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kepada Kementerian Kominfo agar menutup dan memblokir via DNS sejumlah website media Islam Online memgejutkan dan semakin menunjukkan abuse of power pemerintah.
Suatu yang patut dipertanyakan, mengapa sedemikian tanggapnya BNPT terhadap perkembangan lingkungan strategis yang terjadi di Timur Tengah dengan gerakan ISIS kemudian membelenggu kebebasan informasi masyarakat luas.
Terlebih lagi yang menjadi sasaran adalah sejumlah Media Islam online. Kondisi yang demikian semakin membuka tabir gerakan perongrong Islam dalam lingkup kekuasaan pemerintahan saat ini.
Kesembilan belas Media Islam Online yang menjadi sasaran dikenal sangat concern terhadap pembelaan pada Islam. Salah satunya yang paling pokok adalah menjaga kemurnian ajaran pokok Islam dari pengaruh aliran-aliran sesat dan yang paling berbahaya adalah Syiah Iran, “The New Rafidah”.
Dengan demikian, menjadi jelas kebijakan yang diambil oleh BNPT  – yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh Kementerian Kominfo  –  sangat merugikan Islam.  Seharusnya pemerintah – dalam hal ini  BNPT – tercerahkan dengan informasi yang disampaikan oleh media Islam, kemudian melakukan penelitian lanjutan tentang adanya ancaman terhadap keutuhan dan kedaulatan NKRI, seperti  ekspansi ideologi Syiah Iran yang semakin massif san ofensif merasuk ke semua sektor fungsi-fungsi pemerintahan.
Tindakan abuse of power atas nama menghentikan paham radikalisme termasuk simpatisannnya  – sebagaimana disebutkan oleh Kementerian Kominfo – merupakan tindakan yang ceroboh dan sekaligus menunjukkan tidak berpihaknya BNPT atas “Demokratisasi dan Kebebasan Pers. Suatu yang antagonistik, politik polarisasi dalam bentuk melemahkan perjuangan Islam di satu sisi, di sisi lain memberikan keluasan bagi gerakan aliran sesat yang bukan hanya membahayakan bagi Islam namun juga NKRI.
Efek yang ditimbulkan dari kebijakan BNPT yang ceroboh ini akan memberikan pengaruh bagi penguatan kaum Sekularis, Pluralis dan Liberalis (SePILIS), aliran sesat dan komunis yang memang menginginkan Indonesia sebagai Negara yang memisahkan Negara dengan agama secara permanen (sekularistik). Ciri utama dari Negara sekularsitik  adalah hukumnya positivistik / legalistik, sebagaimana dipraktekkan oleh Hitler, begitupun Republik Rakyat Cina (RRC), Negara-negara Blok Amerika dan Republik Iran  saat ini.
Negara tersebut memang sangat anti terhadap peran agama Islam dalam politik pemerintahan.  Adapun Republik Iran bukanlah representasi model pemerintahan Islam, melainkan pemerintahan Syiah.
Kekuasaan (politik) dan hukum berada pada satu tangan yakni Rahbar, semua keputusan berada dan diputuskan melalui Rahbar, bukan presiden maupun parlemen.
Dalam pemikiran positivistik tidak terdapat pengakuan nilai-nilai agama yang ada adalah kemauan penguasa yang bersifat temporer dan untuk kepentingan kekuasaan belaka.
Untuk itu, kepastian hukum menjadi utama, bukan keadilan yang mengandung kemaslahatan. Kepastian selalu dikejar atas nama stabilitas Keamaan Nasional, namun di balik itu mendiskritkan perjuangan penegakan syariah Islam. Pada tataran yang lebih luas, dikhawatirkan semangat umat akan mengalami penurunan signifikan, cendekiawan Islam akan dikalahkan dengan kaum sekular yang menghendaki minimalisasi peran Islam dalam Negara.
Saya mensinyalir kebijakan BNPT tersebut akan mengarah kepada pengkerdilan Ormas-ormas Islam melalui produk peraturan perundang-undangan yang membatasi ruang hidup dalam politik.
Revisi RUU  Ormas akan digalakkan, termasuk rencana UU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang kontroversial, dikhawatirkan memberikan tempat kaum SePILIS, aliran sesat dan berkembangnya paham komunis.
Tentu ini akan sejalan dengan skenario besar kaum SePILIS, Komunis Gaya Baru (KGB) dan aliran-aliran sesat untuk lebih leluasa dalam menjangkau pusat-pusat kekuasaan. Mereka akan bersatu-padu dan bahu-membahu, karena kepentingan dan tujuannya adalah sama, yakni memperoleh jaminan dan pengaruh.
Contoh nyata adalah Syiahisasi yang tengah diperjuangkan oleh elite-elite Syiah di Indonesia dalam rangka membangun rasa, paham dan semangat Iran (Iranisasi).  Syiah Iran akan mengeksodus umat Islam menjadi Syiah, menggantikan nasionalisme Indonesia menjadi nasionalisme Persia. Sama dengan Syiah dan Komunis akan berupaya menggantikan ideologi Pancasila.
Di pihak lain kaum SePILIS akan diuntungkan dengan melemahnya peran Ormas Islam, meniadakan saingan dan pengaruh dalam rangka mengembangkan pemikirannya.
Harapan mereka, pada saat umat Islam lengah dan melemah, mereka  akan mendapat pengaruh dan kuasa. Inilah saat-saat yang dinantikan Syiah Iran, dalam suatu kondisi melemahnya umat Islam, Syiah Iran hanya memiliki dua saingan yakni kaum SePILIS dan Komunis.
Akan tercipta hubungan “Klientelistik”, tentunya dengan Syiah sebagai pemegang kendali, pada fase ini ideologi Pancasila tidak lagi “sakti”, telah tergantikan dengan ideologi Imamah Syiah Iran.
Kesimpulan yang dapat kita petik adalah, ketika ruang hidup Ormas-ormas Islam semakin minimalis, mereka justru berkembang secara maksimalis. Kesemuanya itu, dimulai dari pengkerdilan arus informasi dan interaksi umat dalam kancah perpolitikan.
Tantangan umat Islam memang semakin besar, namun pertolongan Allah Subhanahu Wata’aka akan membesarkan perjuangan umat Islam dan akan menghancurkan musuh-musuh Islam kelak pada akhirnya.

Hidayatullah.com

Inilah kriteria Media radikal Versi BNPT

Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris mengungkapkan kriteria media radikal versi BNPT.
“Salah satu cirinya media ini mendorong untuk melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan mengatasnamakan agama,” kata Irfan di depan pengelola situs media Islam yang diblokir, Selasa (31/3/2015) di Kantor Kemenkominfo Jakarta.

Selanjutnya, jelas Irfan, media ini gemar mengkafirkan orang lain atau takfiri. Yang tidak kalah penting, media radikal adalah media yang mendukung, menyebarkan, dan mengajak orang untuk bergabung dengan ISIS.
“Mereka memaknai jihad secara terbatas. Menurut BNPT radikal itu memilih ideologi lain dalam bernegara selain ideologi Pancasila,” ungkap Irfan.

Atas dasar kriteria inilah BNPT memperintah Kemenkominfo untuk memblokir sebanyak 19 situs media Islam.
Mahladi, juru bicara media-media Islam yang diblokir mengatakan tuduhan radikal oleh BNPT terhadap sejumlah media Islam tersebut tidaklah benar.
“Tuduhan BNPT ke kami sebagai pendukung ISIS itu tidak benar. Silakan dicek, tidak ada konten kami yang mengajak masyarakat bergabung dengan ISIS. Justru kami menampilkan konten-konten yang mengkritisi ISIS,” jelas Mahladi.

Soal gemar mengkafirkan orang lain juga dibantah Mahladi.
“Misalnya soal Ahmadiyah itu sesat. Sesat itu kan berdasarkan fatwa MUI. Kami hanya memberitakan bahwa Ahmadiyah itu sesat, seperti halnya media-media umum memberitakannya,"

sumber ; Hidayatullah.com